Kurikulum pendidikan
nasional telah mengalami perubahan beberapa kali sejak bangsa Indonesia merdeka,
yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan
sekarang kurikulum 2013. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis perubahan
sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa
dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu di-update secara berkesinambungan sesuai
dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Dalam
pelaksanaan terbaru yaitu kurikulum 2013, meski banyak pro dan kontra mengenai
implementasi Kurikulum 2013 toh faktanya kurikulum ini tetap diimplementasikan di
semua jenjang sekolah mulai dari SD, SMP dan SMA. Mari kita flashback sebentar, beberapa pihak yang
menolak pemberlakuan Kurikulum 2013 saat itu antara lain : Indonesia Corruption
Watch (ICW), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Forum Musyawarah Guru
Jakarta (FMGJ) dan Aliansi Revolusi Pendidikan. Mereka menyatakan beberapa
alasannya diantaranya adalah proses perumusan kebijakan perubahan kurikulum
tidak terencana dan terburu-buru. Mekanisme perubahan kurikulum tidak mengacu
pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pemerintah ditengarai tidak melakukan
evaluasi terlebih dahulu terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang telah diterapkan sejak tahun 2006. Kurikulum 2013 cenderung mematikan kreatifitas
guru dan tidak mempertimbangkan konteks budaya lokal, karena guru telah
diberikan buku pegangan dan silabus yang isinya sama sekali tanpa memikirkan
konteks lokal. Selain itu anggaran kurikulum 2013 mencapai angka fantastis,
yaitu Rp 2,49 triliun, lebih dari setengahnya yaitu Rp 1,3 triliun, akan
digunakan untuk proyek pengadaan buku yang berpotensi dikorupsi. Pengadaan buku
untuk Kurikulum 2013 merupakan proyek pemborosan, padahal setiap tahun sejak
2008, pemerintah aktif membeli hak cipta buku sekolah elektronik (BSE). Sementara
itu pihak yang pro perubahan kurikulum menyatakan pendapat bahwasanya
kurikulum 2013 memadatkan pelajaran sehingga tidak membebani peserta didik,
lebih fokus pada tantangan masa depan bangsa, dan tidak memberatkan guru dalam
menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan. Selain itu, perubahan proses
belajar dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu. Dari berbasis output
menjadi berbasis proses dan output.
Kurikulum 2013
yang mempunyai isi dan tujuan yang baik, kalau kita memandangnya dengan penuh
keraguan, maka hasilnya tentu tidak akan memuaskan. Dan sebagus apapun content dari kurikulumnya, kalau subject-nya tidak mampu maka “It will be in vain” (sia-sia belaka).
Oleh karena itu, kita harus menyambut kehadiran kurikulum 2013 dengan rasa
optimis dan mendukung niat pemerintah untuk memajukan pendidikan di Indonesia.
Semoga kurikulum 2013 dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan
serta mampu menciptakan generasi-generasi yang berprestasi serta memiliki attitude yang baik untuk kemajuan
pendidikan di Indonesia. Sebagai guru jangan pernah berprinsip, “Apapun makanannya minumnya teh botol *osro”.
Jangan pernah berfikir picik, apapun kurikulumnya gaya mengajar tetap CBSA
(Catat Buku Sampai Abis) atau CTL (Catet Tinggal Lungo). Mari di abad 21 ini
kita menjadi manusia yang selalu belajar agar dapat meyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman termasuk menyesuaikan diri dengan kurikulum baru, 2013. Ingat apa yang pernah Alvin Toffler ujarkan, “The illiterate of the 21st century will not be those
who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.”
Artinya : Mereka yang tertinggal di abad 21 bukanlah yang tak bisa membaca dan
menulis, tetapi orang yang enggan belajar, tidak berani meninggalkan
pengetahuannya yang sudah tidak relevan, dan tidak mau belajar lagi untuk
pengetahuan lebih baru.
0 komentar:
Post a Comment